WEB BLOG
this site the web

CERPEN

SAHABATKU TELAH PERGI

Di pagi hari yang diselimuti oleh awan hitam disertai dengan hujan, Dina siswi teladan SMA PERTIWI yang kini duduk di kelas XI sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah dengan Jazz kesayangannya.
Sesampainya di sekolah.
“pagi pak !!” sapa Dina kepada petugas keamanan sekolah dari dalam mobilnya saat memasuki gerbang sekolah.
“pagi juga neng! Parkirnya disebelah sana ya!” jawab Pak Surya smbil menunjukan arah dengan tangannya.
“siap pak!!” balas Dina.
            Dina pun memarkirkan mobilnya. Setelah itu, Dina menuju ruang kelasnya. Dari balik pintu sudah terlihat sahabatnya yaitu Evan,Edo dan Tasya yang sedang mengobrolkan sesuatu.
“pagi guys!” sapa Dina ke teman-temannya.
“pagi! Tumben lo baru datang, biasanya lo duluan yang datang dari pada kita?” tanya Evan.
“iya tadi gue kesiangan, maklumlah mendung. Ya otomatis, gue berangkatnya agak telat.” Jelas Dina.
“ya namanya juga Jakarta, kalau enggak macet bukan Jakarta.”tambah Edo.
“terus apa namanya?” tanya Tasya.
“nggak perlu dibahas OK!” jawab Edo. Diiringi tawa kecil yang lain.
“eh gue ke kantin dulu ya, mau beli air mineral haus banget nih. Ada yang mau nitip? Tanya Dina menawarkan ke sahabatnya.
“nggak usah deh, makasih.” jawab Tasya.
“ya udah, gue keluar dulu ya!” pamit Dina.
            Dina pun meninggalkan kelas dan menuju ke kantin Bu Fifi. Setelah ia membeli air mineral, Dina pun bergegas untuk segera masuk ke kelas karena bel sekolah sudah berbunyi.
“mati deh gue kalau Pak Hendra sudah masuk ke kelas duluan.” gumam Nindy dalam benaknya.
            Karena terlalu tergesah-gesah,sampai ia tidak melihat pria tinggi dengan paras menawan sedang berjalan dari arah yang berlawanan. Dina secara tidak sengaja menabrak pria tersebut hingga mereka terjatuh.
“Aduh!” seru pria itu.
“maaf-maaf gue gak sengaja, gue lagi buru-buru nih.” jawab Dina.
“oh iya iya gak papa kok, kalau boleh tanya ruang Kepala Sekolah dimana ya?” tanya pria tersebut dengan sedikit terengah-engah.
“ ruangan Kepala Sekolah disana, lurus aja kok nanti ada tulisannya.” jawab Dina sambil menunjuk ke arah kanan.
“ makasih ya “ ucap pria tampan itu
“ iya sama-sama “ jawab Dina dengan suara lebih keras sambil berlari.
            Tak lama kemudian ia pun samapi di depan kelas. Dari balik pintu ia sedikit mengintip ke dalam apakah Pak Hendra sudah sampai di ruangan atau belum.
“ ya Tuhan lindungilah Hamba-Mu ini dari hukuman Pak Hendra.” Do’a Dina dalam benaknya sebelum memasuki kelas.
            Ia pun perlahan-lahan memasuki kelas. Dengan perasaan berdebar-debar ia segera mengarahkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan tersebut untuk mengetahui keberadaan Pak Hendra.
“ Alhamdulillah beliau belum datang, terima kasih ya Allah.” Ucap Dina dalam benaknya sambil menempatkan tangan kanannya di dada.
“ lo kenapa kok kelihatannay tegang banget?” tanya Evan.
“ gimana gak tegang sekarang kan pelajarannya Pak Hendra, kalau gue sampai telat masuk sedikit aja habis gue di jemur di tengah lapangan. Dia belum datang kan??” jelas Dina.
“ belum kok mungkin karena habis hujan jalanan becek terus macet lagi.” Tambah Edo.
“ iya tuh mungkin kejebak banjir.” Tambah Tasya
            Tak lama kemudian datang sosok pria tinggi, bertubuh tegap dan terlihat sedikit jutek dari balik pintu. Tak lain pria itu ialah Pak Hendra. Suasana kelas pun berubah sesaat dari sebelumnya sedikit gaduh menjadi sunyi ketika ia datang. Tak ada yang berani mengeluarkan sepatah kata kecuali Ridho sang ketua murid yang memberikan komando keada teman-temannya.
“ Berdiri! Mengucapkan salam!” ucap Ridho.
            Mendengar perintah tersebut, serentak seluruh siswa mengucapkan salam. Setelah itu Pak Hendra mengabsen siswa siswi. Lalu beliau melanjutkan menjelaskan materi minggu lalu mengenai Teknologi reproduksi. Di tengah-tengah penjelasannya tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan.
“ Ada yang masih ingat, hewan apa yang pertama kali di cloning?” tanyanya dengan sedikt penegasan.
“ Domba dolly, pak “ jawab Dina.
“ Benar sekali, sekarang siapa yang dapat menjelaskan bagaimana proses pencloningan terhadap hewan tersebut?” tambahnya.
Seluruh siswa hanya terdiam mendengar pertanyaan tersebut.
“ Ya sudah mungkin kalian lupa. Sekarang silahkan buat kelompok masing-masing empat orang dan diskusikan!” perintahnya.
            Mendengar perintah tersebut, seluruh siswa dalam ruangan tersebut langsung membalikkan kursi mereka. begitu pun dengan Dina dan Edo mereka memutar kursinya 180 derajat hingga mereka berhadapan dengan Tasya dan Evan.
Di sela-sela diskusi Evan melihat Dina penuh keheranan.
“ woy kenapa lo? Kok gue perhatiin lo senyum-senyum sendiri ?” tanya Evan
“ Cie lagi seneng ya? Cerita dong!” bujuk Tasya.
“ Aduh gue bingung ceritanya dari mana, yang jelas perasaan gue hari ini gue seneng banget.” Jawab Dina penuh kegembiraan disertai tawa kecil.
“ Gue tau pasti lo sekarang lagi jatuh cinta ya??” tebak Edo.
“ Ih apaan sih lo Do? Enggak kok!” jawab Dina dengan sedikit malu.
“ Ih pake ngebohong, udah jujur aja! Lo itu nggak bisa ngebohong sama gue, dari mata lo aja udah keliatan kalau lo lagi jatuh cinta. Mungkin lo bisa ngebohongin yang lain tapi gue enggak. Gue sahabat lo dari kecil dari kita belum sekolah.” Jelas Tasya.
“ Hehe iya deh gue nyerah.” Jawab Dina dengan sedikit malu.
“ Cie cie sama siapa Din?” tanya Edo dengan penuh penasaran.
“ Gue nggak tahu dia siapa, kayaknya sih anak baru. Soalnya gue baru kali ini ngeliat dia.” Jelas Dina dengan wajah sedikit kemerah-merahan.
“ Cie..! berarti lo jatuh cinta pada pandang pertama dong? Cie cie” ejek Evan.
“ Jarang-jarangkan seorang Dina Septiani seorang putri sekolah jatuh cinta! Beruntung banget tuh orangnya.” Tambah Edo
“ Ih apaan sih kalian! Udah ah udah jangan bahas sekarang.” Jawab Dina sambil melirik ke arah Pak Hendra yang dari tadi sedang memperhatikan mereka.
“ Pokoknya nanti ceritain ya siapa yang sudah membuat lo jatuh cinta.” Pinta Tasya.
“ iya bawel.” Jawab Dina.
            Mereka pun melanjutkan diskusi hingga jam pelajaran Pak Hendra selesai. Kemudian mereka melanjutkan dengan mata pelajaran lain. Setelah pukul 16.00 WIB bel berdering, yang menunjukan bahwa kegiatan KBM sudah berakhir. Siswa-siswi pun meninggalkankelas dan bergegas kembali ke rumah masing-masing.
            Keesokan harinya, seperti biasa Dina sudah bangun saat sang fajar masih malu-malu menampakkan dirinya. Ia segera bersiap-siap pergi ke sekolah. Ia tidak dapat bersantai-santai karena kondisi jalan Ibu kota tidak dapat di prekdisikan. Setelah seluruh persiapan selesai, ia tidak lupa untuk berpamitan kepada kedua orang tuanya yaitu Bapak Ferdy dan Ibu Lian sebelum ia pergi ke sekolah.
            Sesampainya di SMA Pertiwi sambil menunggu bel, Dina dan ketiga sahabatnya melanjutkan pembicaraan yang lalu mengenai siapa yang membuat Dina jatuh cinta. Di sela-sela pembicaraan, terdengar suara bel yang menunjukkan bahwa KBM segera dimulai. Tak lama kemudian seorang lelaki paruh baya memasuki kelas tersebut, yaitu Pak Cece, yang tak lain ialah guru BK. Serentak seluruh siswa memberikan salam kepadanya.
“ pagi ini kalian kedatangan siswa baru pindahan dari Bandung.” Ujar Pak Cece.
            Kemudian ia memanggil seorang laki-laki tampan dari balik pintu. Ketika laki-laki itu masuk suasana kelas menjadi gaduh.
“Tenang-tenang! saya harap kalian bisa tenang!” ucap pak Cece.
Seketika suasana kelas menjadi lebih tenang.
“Sekarang silahkan perkenalkan diri kamu!” pinta Pak Cece kepada murid baru tersebut.
“Selamat pagi semuanya! Nama saya Ryan Anugrah, kalian bisa panggil saya Ryan.” Ucap Ryan.
“Sekarang silahkan kamu cari kursi yang masih kosong.” Ucap Pak Cece mempersilahkan Ryan untuk duduk. “Untuk perkenalan lebih lanjut nanti kalian bisa tanyakan langsung.” Tambahnya.
“Sekarang pelajaran apa?” Tanya Pak Cece ke Ridho.
“Olahraga Pak.” Jawab Ridho.
“Ya sudah sekarang kalian ganti baju, lalu langsung ke lapangan. Guru kalian sudah menunggu.” Ucap Pak Cece sebelum meninggalkan kelas.
            Kemudian Pak Cece meninggalkan kelas tersebut. Ryan pun segera menuju ke kursi yang masih kosong. Saat menuju ke kursi tersebut ia melewati kursi Dina dan tersenyum padanya.
            Tanpa di sadari Dina, Edo sedari tadi memperhatikan tingkah laku Dina yang sejak tadi tersenyum tepatnya ketika Ryan memasuki kelas.
“Dia ya orangnya?” Tanya Edo.
“Maksudnya?” Tanya balik Dina.
“Ia dia kan yang sudah membuat hati lo berbunga-bunga?” Tebak Edo.
“Hehe iya.” Jawab Dina sedikit malu-malu. “kok Lo bisa tau?” tanya Dina heran.
“Kelihatan dari tingkah laku Lo.” Jelas Edo singkat. “Ya sudah yuk kita keluar.” Tambah Edo.
            Kemudian mereka dan siswa yang lain mengganti pakaian putih abu-abu dengan pakaian olahraga. Setelah itu mereka berkumpul di lapangan. Sesampainya disana mereka diperintahkan untuk bermain basket. Karena sudah merasa lelah bermain basket, mereka memutuskan untuk beristirahat. Di tengah istirahat, mereka memutuskan untuk beristirahat.
Ditengah istirahat, Ryan menghampiri Dina yang tengah asyik bersama ketiga sahabatnya.

“Hai!” Sapa Ryan. Maaf ya kemarin gue ga sengaja nabrak lo sampai lo jatuh, ada yang luka nggak?” Tambahnya.
“Nggak papa ko, nggak ada yang luka. Lagi pula kemarin kan yang nabrak gue bukan lo” Jawab Dina. “Kalo boleh tahu, kenapa lo pindah sekolah?” Tambahnya.
“Gue dulu ikut nenek gue, kasihan nenek gue sendiri. Belum lama ini Beliau meninggal, ya sudah gue balik tinggal sama orang tua gue, terus disekolahin disini.” Jelas Ryan.
“Oh maaf ya, jadi enggak enak. Lo cucu kesayangannya ya?” Balas Dina.
“Nggak papa kok. Gimana ya gue kan cucu satu-satunya.” Jawab Ryan.
“Oh, pasti nenek lo sayang banget sama lo.” Tambah Dina.
Ketika bel berdering Dina dan ketiga sahabatnya pulang bersama.
           Di tengah-tengah perjalanan sambil mrndengarkan musik kesukaan mereka mereka membicarakan sesuatu.
“Cie Dina, tadi ngobrolin apa saja sama Ryan?” Ledek Evan.
“Ih apaan si lo Van! Tadi gue cuma nanya alasan dia pindah sekolah terus gue ceritain keadaan sekolah kita.” Jawab Dina.
“Sya, lo kenapa dari tadi diam saja, terus muka lo kok agak pucat sih?” Tanya Edo khawatir.
“Nggak papa kok cuma pusing sedikit.” Jawab Tasya lemas.
“Gue perhatiin, kok lo sering banget pusing? Sakit apa?” Tanya Dina cemas sambil melirik ke arah Tasya yang duduk di sampingnya.
“Nggak, nggak ada sakit kok! Ya mumgkin karena kelelehan aja kali.” Jawab Tasya.
            Nindy pun mengantarkan Tasya hingga pintu rumahnya, kemudian Ia melanjutkan mengantar Evan dan Edo.
          Sesampainya di rumah, kedua orang tua Tasya sangat khawatir melihat keadaan putri tunggalnya yang pucat pasi. Tanpa berfikir panjang, mereka membawanya ke rumah sakit tempat di mana keluarga Tasya memeriksa kesehatannya.
            Sesampainya di rumah sakit, Tasya diperiksa oleh Dokter Indrawan yang akrab di sapa dokter Indra yang tak lain ialah dokter pribadi keluarga Nasution, keluarga Tasya. Setelah Tasya selesai diperiksa, Dokter Indra meminta Bapak Zainal Nasution dan Ibu Yulia Nasution menemuinya di ruangannya.
“Maaf sebelumnya saya harus mengatakan ini kepada Bapak dan Ibu, kondisi putri Anda sudah semakin parah, saya khawatir apabila operasi tidak segera dilaksanakan, hal ini bisa mengancam keselamatan putri anda.” Jelas Dokter Indra.
“Apa tidak ada cara lain untuk menyembuhkan putri kami selain operasi?” Tanya Ibu Yulia sambil menitihkan air mata.
“Tidak ada cara lain lagi karena kondisi putri Ibu sudah memasuki stadium akhir. Itu pun bila operasinya berhasil.” Jawab Dokter Indra.
“Maksud dokter?” Tanya Bapak Zaenal khawatir.
“Ia bila operasinya berhasil ada dua kemungkinan, yaitu Ia akan kembali seperti sedia kala atau ia tetap hidup dengan lupa ingatan atau yang disebut amnesia.” Jelas Dokter Indra. “Dan apabila operasinya tidak segera dilaksanakan atau gagal maka putri ibu tidak dapat diselamatkan atau ada keajaiban dari Yang Kuasa.” Tambahnya.
Mendengar perkataan tadi air mata Ibu Yukia mengalir semakin deras.
“Kapan operasi itu bisa dilaksanakan?” Tanya Bapak Zaenal.
“Itu tergantung kesiapan Anda dan putri Anda, saran saya lebih baik secepatnya.” Jawab Dokter Indra.



            Di tempat yang berbeda tepatnya di ruang tunggu dalam waktu yang bersamaan, Tasya secara tidak sengaja melihat Ryan yang sedang berjalan.
“Ryan Ryan!!” Panggil Tasya.
Mendengar itu Ryan mencari asal suara tersebut. Ia mengarahkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan tersebut. Lalu Ia melihat sosok Tasya yang sedang berdiri. Ia pun menghampirinya.
“Eh lo Sya, yang tadi manggil gue? Ngapain lo di sini?” Tanya Ryan.
“Ya gue yang manggil lo. Gue di sini habis check-up sekarang lagi nungguin orang tua gue, dari tadi belum keluar-keluar.” Jawab Tasya. Lo sendiri ngapain?” Tambahnya.
“Orang tua lo belum keluar dari mana? Tanya Ryan. Gue mau jemput bokap gue mobilnya lagi di bengkel.” Jelas Ryan.
“Dari ruangannya Dokter Indra.” Jawab Tasya.
“Dokter Indra siapa? Bokap gue kan dokter juga disini terus namanya dokter Indrawan.” Tanya Ryan
“Dokter Indra yang ruangannya di sebelah sana.” Balas Tasya sambil menunjuk ke arah ruangan yang berda tak jauh dari tempatnya menunggu.
“Loh itu kan ruangannya bokap gue.” Balas Ryan.
“Serius lo?” Tanya Tasya seolah tidak percaya.
“Serius lah ngapain sih gue bohong.” Jelas Ryan. “Siapa yang sakit? Lo Sya?” Tambahnya.

            Tasya hanya terdian mendengar pertanyaan tersebut. Ia bimbang apakah Ia harus mengatakan yang sejujurnya tentang penyakitnya atau tidak. Ia khawatir apabila Ia mengtakan yang sejujurnya orang-orang yang berada di dekatnya hanya iba terhadapnya. Belum sempat Ia menjawab, Dokter Indra bersama kedua orang tuanya datang dan menghampiri mereka.
“Eh itu orang tua gue sama Dokter Indra sudah keluar.” Ucap Tasya sambil menunjuk ke arah orang tuanya.
“Sya kok lo nggak jawab pertanyaan gue sih?” Tanya Ryan.
“Oh, enggak kok gue cuma sakit kepala biasa saja kok.” Jawab Tasya agak ragu.
Kemudian Dokter Indra bersama kedua orang tua Tasya datang menghampiri.
“Kalian sudah saling kenal?” Tanya Dokter Indra kepada putraya dan Tasya.“Pak, Bu perkenalkan ini putra saya.” Tambahnya.
Ryan pun bersalaman pada orang tua Tasya sebagai tanda perkenlan.
“Ya sudah kalau begitu Dok kami pamit pulang dulu karena sudah malam.” Ucap Bapak Zaenal.
“Ya hati-hati Pak!” Balas Dokter Indra diiringi senyum. “Tasya jangan lupa istirahat ya.” Pesan Dokter Indra kepada Tasya.
Tasya pun hanya mengangguk. Kemudian mereka meninggalkan tempat tersebut.

“Kasihan temanmu, di usianya yang masih terbilang muda Dia harus menghadapi kenyataan pahit.” Ucap Dokter Indra kepada putranya.
“Maksud ayah apa?” Tanya Ryan tak mengerti.
“Iya, dia mengidap kanker otak, sudah stadium akhir.”Jawab Ayah Ryan.
“Apa?” Ucap Ryan tak percaya.
“Ya sudah sekarang kita pulang dulu” Ajak ayah Ryan. “Nanti Ayah ceritakan di mobil.” Tambahnya.
Di perjalanan pulang, ayah Ryan pun menceritakan semuanya yang terjadi pada teman baru Ryan.
“Kamu sekarang sudah tahu apa yang terjadi pada Tasya, Ayah pinta tolong jangan kamu ceritakan hal ini pada siapa pun. Ayah merasa berdosa sekali sudah melanggar kode etik kedokteran dengan menceritakan kondisi pasien Ayah ke kamu.” Pinta Ayah Ryan
“Iya Yah, aku ngerti kok aku janji ga akan bilang ke siapa pun.”
         Keesokan harinya Ryan menghampiri Tasya yang sedang duduk termenung di depan kelas.
“Boleh duduk di sini?” Tanya Ryan.
        Tasya tidak menjawab, Ia hanya menggeser posisi duduknya sebagai isyarat bahwa Ryan boleh duduk di sampingnya.
“Maaf ya Sya sebelumnya. Gue sudah tahu apa yang terjadi sama lo.” Ucap Ryan mengawali pembicraan. “Kenapa kemarin lo bohong sama gue?” Tambahnya.
“Gue sudah menduga. Bokap lo yang ngasih tahu ya?” Tebak Tasya.
 Ryan pun menjawab dengan anggukkan kepala.
 “Gue nggak bermaksud bohong sama lo, gue cuma nggak mau kalo lo dan yang lain tahu penyakit gue, lo semua jadi kasihan sama gue. Karena umur gue sudah sebebtar lagi” Jelas Tasya sambil menitihkan air mata. “Lo harus janji sama gue jangan sampai ada yang tau tentang hal ini selain lo.” Pinta Tasya masih dengan derai air mata.
“Ya gue janji gue nggak akan bilang hal ini ke siapa-siapa. Yang harus lo tahu gue berteman dengan lo bukan karena gue kasihan atau iba sama lo tapi gue peduli sama lo.” Jelas Ryan. “Sekarang lo hapus air mata lo, gue yakin lo pasti bisa menghadapi semua ini.” Pinta Ryan. “Kalau lo ada keluhan lo bisa bilang ke gue nanti gue sampaikan ke ayah gue.” Tambahnya.
“Makasih Yan. Iya nanti kalo gue ada keluhan gue bilang ke lo.” Balas Tasya.
          Tak lama kemudian bel pun berdering. Mereka memasuki ruang kelas untuk mengikuti pelajaran.
          Hari demi hari berlalu, Chacha dan Ryan pun semakin akrab. Mereka sering terlihat mengobrol bersama. Hal itu membuat hati Nindy sedikit cemburu terhadap sahabatnya.
“Sya gue perhatiin kok lo sama Ryan semakin akrab ya?” Tanya Dina. “Lo tahu kan kalau gue suka sama Ryan?” Tambahnya.
“iya gue tahu kok, lo cemburu ya?” Jawab Tasya dengan sedikit meledek.
“Gue lagi enggak mood ya buat bercanda.” Balas Dina dengan sedikit kesal.
“Hehe santai aja Din. Gue sama dia nggak ada apa-apa kok.” Jawab Tasya. “Gue cuma…” Tasya memutus pembicaraan.
“Cuma apa?” Cuma mau ngerebut Ryan dari gue?” Tanya Dina kesal bercampur emosi.
“Ya ampun Din, kok lo bisa berfikiran seperti itu sama gue?” Tanya Tasya dengan nada lebih tinngi dari sebelumnya.
           Perseteruan di antara mereka pun tek dapat dihindari. Di tengah perseteruan tersebut tiba-tiba Tasya pingsan.
“Sya, Sya lo kenapa?” Ucap Dina panik saat sahabatnya tergeletak di lantai.
          Tak lama kemudian Dina melihat Ryan yang sedang berjalan, Ia pun memenggilnya dan meminta bantuan.
“Tasya kenapa?” Tanya Ryan kepada Dina panik.
“Gue juga nggak tahu tadi tiba-tiba dia pingsan.” Jawab Dina masih panik.
“Ya sudah bawa dia ke rumah sakit, lo tolong kabarin ke orang tuanya ya.” Balas Ryan masih panik.
           Kemudian mereka membawa Tasya ke rumah sakit. Ia pun langsung ditangani oleh Dokter Indra.
“Yah tolongin Tasya, tadi dia tiba-tiba pingsan!” Pinta Ryan.
“Ya” Jawab Dokter Indra. “Sekarang kamu berdo’a untuk kesembuhan temanmu ini” Tambahnya.
          Tasya pun langsung dibawa ke ruang ICU untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif.
“Ryan, itu ayah lo?” Tanya Dina.
“Iya itu ayah gue.” Jawab Ryan.
          Tak lama kemudian kedua orang tua Tasya datang bersama Evan dan Edo. Mereka langsung menghampiri Dina dan Ryan.
“Tasya di mana?” Tanya Ibu Yulia dengan penuh kepanikan.
“Dia lagi di ICU. Tante sebenarnya Tasya sakit apa? Kok tante terlihat panik sekali?” Tanya Dina.
“Dia mengidap kanker otak.” Jawab Ayah Tasya.
            Seketika suasana menjadi sendu setelah mereka mendengar perkataan itu. Mereka tidak menyangka Tasya mengidap penyakit yang mengerikan itu.
“Apa?” Tanya Dina membangunkan kesunyian. Evan, dan Edo serentak tidak percaya.
“Kenapa Tasya menyembunyikan ini semua?” Tambah Dina dengan menitihkan air mata. “Sahabat macam apa gue? Masa orang yang berarti di hidup gue memikul beban yang berat gue nggak tahu?” Dengan air mata yang mengalir lebih deras. “Gue nyesel banget tadi gue sempet ribut sama Tasya hanya karena masalah sepele.” Ucap Dina menyalahkan dirinya.
“Cukup Din, kamu nggak perlu menyalahkan diri kamu sendiri. Ini sudah takdir dari Yang Kuasa. Tasya bukannnya nggak mau ngasih tahu hal ini ke kalian, Dia hanya takut bila dia cerita ke kelian, kalian menjadi iba dan kasihan terhadapnya.” Jelas Ibu Tasya yang juga menitihkan air mata.
Tak lama kemudian Dokter Indra keluar dari ruang ICU. Kedua orang tua Tasya beserta keempat sahabatnya menghampirinya.
“Gimana dok keadaan anak saya?” Tanya Ayah Tasya berusaha tenang.
“Kondisi putri anda semakin memprihatinkan. Presentase harapan hidupnya kini hanya 40%. Cara untuk menyelamatkan Tasya hanya dengan melakukan operasi. Itu pun bila berhasil.” Jelas Dokter Indra.
“Apa persyaratan yang harus kami penuhi agar operasi itu segera dilaksanakan?” Tanya Ayah Tasya.
“Anda silahkan ke bagian administrasi lalu menandatangani persetujuan operasi.” Jawab Dokter Indra.
            Ayah Tasya pun segera menuju bagian administrasi untuk menyelesaikan persyaratan operasi. Tak lama kemudian setelah persyaratan telah dipenuhi Dokter Indra kembali bersama timnya untuk melakukan operasi.
“Operasi akan segera dilaksanakan, ini membutuhkan waktu sekitar 8 jam. Saya berharap kepada Bapak dan Ibu serta adik-adik untuk mendoakan agar operasinya berhasil.” Ucap Dokter Indra sesaat sebelum menuju ruang operasi.
           Sambil menunggu jalnnya operasi, kedua orang tua Tasya beserta keempat sahabatnya tidah henti-hentinya berdoa untuk kelancaran operasi dan keselamatan Tasya. Setelah berjam-jam menunggu Dokter Indra pun keluar dari ruang operasi. Mereka pun langsung menghampirinya.
“Gimana Dok, apakah operasinya berhasil?” Tanya Ayah Tasya panik.
“Alhamdulillah, operasinya berjalan dengan lancar, sekarang kondisinya masih belum sadar.” Jawab Dokter Indra.
Tak lama kemudian Chacha pun sadar. Dokter Indra mengizinkan kedua orang tuanya untuk menemuinya. Mereka pun masuk ke ruang dimana Tasya dirawat bersama Dina.
“Ibu, Ayah, Dina maafin Tasya ya. Selama ini Tasya sudah banyak salah sama kalian.” Ucap Tasya.
“Iya Sya, maafin Ayah sama Ibu juga ya.” Balas Ayah Tasya.Ibu Tasya hanya menitihkan air mata tidak sanggup melihat kondisi putrinya yang terbaring lemah.
“Nggak ada yang perlu dimaafin Sya, seharusya gue yang minta maaf ke lo, gue sudah ngecewain lo, gue sudah berfikiran negatif ke lo, gara-gara gue lo jadi begini.” Balas Dina juga dengan menitihkan air mata.
“Enggak Din, ini bukan gara-gara lo, ini sudah takdir. Gue mau klarifikasi masalah yang tadi, gue sama Ryan nggak ada apa-apa, gue Cuma ngobrol tentang penyakit gue. Kalau ada keluhan gue cerita ke dia nanti dia sampaikan ke bokapnya.” Ucap Tasya masih dengan berbaring.
“Iya Sya gue sudah lupakan itu semua. Masalah yang tadi udah lupain aja. Sekali lagi maafin gue ya. Gue nyesel banget.” Ucap Dina masih dalam tangis.
“Bu, Yah, Din, sekarang hapus air mata kalian, aku nggak mau lihat ada kesedihan di sini. Ibu, Ayah sama Dina harus janji jangan nangis lagi walau apapun yang terjadi.” Pinta Tasya.
           Kedua orang tua Tasya dan Dina hanya mengangguk sebagai isyarat mereka berjanji, sambil menghapus air mata yang membasahi wajahnya.
“Sekali lagi aku minta maaf ya, tolong sampoaikan maaf aku ke yang lain.” Pinta Tasya dengan sedikit terbata-bata.
            Setelah mengucap kalimat tersebut, Tasya menghembuskan nafas terakhirnya. Saat mengetahui garis pada elektrokardiograf membentuk garis lurus 1800, tanpa berfikir panjang Dina langsung berlari mencari Dokter Indra agar dapat memberikan pertolongan kepada sahabat yang sangat disayanginya itu. Namun sia-sia. Segala cara telah dilakukan namun hasilnya tak seperti yang diharapkan. Nyawa Tasya sudah tidak tertolong.
            Kedua orang tua Tasya dan seluruh temannya berusaha untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan, walau air mata sempat menghiasi wajah mereka. Mereka berusaha untuk menerima takdir dari Sang Khalik. Mereka berdoa agar ruh Tasya diterima di sisi Allah dan mendapat tempat yang layak di sisinya.
                                                                                                          

0 komentar:

Posting Komentar

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies